Rabu, 18 Mei 2011

Revitalisasi/Peremajaan Tanaman Perkebunan Kelapa Sawit


PEREMAJAAN/ REVITALISASI PERKEBUNAN RAKYAT KELAPA SAWIT
Program Revitalisasi Perkebunan merupakan salah satu upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan, yang didukung kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Revitalisasi Perkebunan bertujuan untuk meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat melalui pengembangan perkebunan; meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan pengembangan industri hilir berbasis perkebunan; meningkatkan penguasaan ekonomi nasional dengan mengikutsertakan masyarakat dan pengusaha lokal; mendukung pengembangan wilayah.
Salah satu komoditi program revitalisasi perkebunan adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi potensial yang dikembangkan saat ini dengan alasan mempunyai peranan sangat strategis sebagai sumber pendapatan masyarakat, mempunyai prospek pasar yang sangat baik di dalam negeri maupun luar negeri (ekspor), mampu menyerap tenaga kerja baru dan mempunyai peranan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Peraturan Pemerintah yang mendukung Program Revitalisasi Perkebunan yaitu, Peraturan Menteri Pertanian (PMP) Nomor : 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan; Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP); Peraturan Menteri Kehutanan (PMKH) Nomor : P.26/MENHUT-II/2007 tentang perubahan kedua atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 292/KPTS-II/1995 tentang tukar menukar kawasan hutan; Surat Menteri Keuangan Nomor : S-313/MK.05/2007 tentang subsidi bunga KPEN-RP; Perjanjian kerjasama pendanaan antara bank pelaksana (16 bank pelaksana) dengan pemerintah Republik Indonesia (Menteri Keuangan) dalam rangka kredit pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan; Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 3817-310.21-D.II, tanggal 6 Desember 2007 tentang Standar Satuan Biaya Sertifikat Hak Milik Program Revitalisasi Perkebunan; Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 143/Kpts/LB.310/2/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Penunjukan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) untuk Melaksanakan Penelitian di Bidang Perkebunan Mendukung Revitalisasi Perkebunan di Indonesia; Surat Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan tentang satuan biaya maksimum pembangunan kebun peserta program revitalisasi perkebunan di lahan kering dan basah yang diterbitkan setiap tahun; Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor 141/Kpts/LB.110/06/2010 tanggal 23 Juni 2010 tentang system penilaian fisik kebun kelapa sawit rakyat yang dikaitkan dengan program revitalisasi perkebunan; Surat Menteri Keuangan Nomor S-623/MK.05/2010 tanggal 29 November 2010 perihal perpanjangan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP).
Seiring dengan pendekatan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang diawali dengan pengembangan perkebunan rakyat melalui pola PIR pada awal tahun ’80 an, maka perkebunan kelapa sawit yang semula merupakan satu-satunya komoditi perkebunan yang hanya diusahakan sebagai perkebunan besar, menjadi juga diusahakan sebagai usaha perkebunan rakyat.  Tahun 2009, sekitar 3,04  juta hektar atau 40% dari total perkebunan kelapa sawit, merupakan perkebunan rakyat.
Tanpa terasa, dewasa ini dan akan terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, perkebunan rakyat kelapa sawit telah memasuki umur untuk dilakukan peremajaan.  Secara umum, telah ada paket teknologi baku peremajaan, sehingga tidak ada masalah, yang penerapannya ditempuh dengan pendekatan sekitar 4% dari luas areal, sehingga terjaga kesinambungan cash flow nya.
Paket teknologi tersebut, walaupun secara teknis dapat diterapkan pada usaha perkebunan rakyat, namun karena rata-rata pemilikan usaha perkebunan rakyat hanya sekitar 2 hektar, maka permasalahan menjadi timbul apabila pendekatan serupa ditempuh (sekitar 4%), yaitu sulit untuk diterapkan.  Sebaliknya, apabila dilaksanakan sekaligus, maka permasalahan menjadi muncul, petani disamping harus mengeluarkan biaya peremajaan dalam jumlah yang cukup besar, secara bersamaan harus kehilangan sumber pendapatan dalam kurun waktu yang cukup lama, minimal masa Tanaman Belum Menghasilkan (4 tahun).
Menyadari bahwa agar peremajaan perkebunan rakyat dapat terlaksana seperti yang diharapkan, maka pemerintah sejak awal telah mempersiapkan fasilitas sumber pembiayaan, berupa sumberdana kredit lunak melalui program revitalisasi perkebunan, sesuai ketentuan persyaratan Bank teknis yang berlaku.  Namun dalam kenyataannya, penyediaan fasilitas kredit lunak yang dimaksud, ternyata belum dapat secara langsung diterapkan langkah implementasinya, mengingat masih ada sejumlah persyaratan administrative yang harus dituntaskan dan pilihan pendekatan paket teknologi yang paling sesuai, atas dasar meminimalisasi dampak hilangnya sumber pendapatan dan tingginya biaya peremajaan.  Berbagai analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa penerapan teknologi baku, dengan pendekatan sekaligus ditebang total seluas 2 hektar, atas dasar satuan biaya yang berlaku saat ini, petani baru dapat melunasi beban hutangnya sekitar 14 tahun.
Berbagai hasil pengamatan yang ada, terdapat paket teknologi alternative yang secara teknis dapat diterapkan, tanpa mengganggu kelapa sawit, yaitu pengembangan tanaman tumpangsari pangan unggul intensif sebagai pengganti tanaman penutup tanah.  Sesuai dengan perkembangan paket teknologi dan varietas tanaman pangan, khususnya jagung, menurut hitung-hitungan, potensi pendapatan dari hasil produksinya, cukup untuk menggantikan kehilangan sumber pendapatan, bahkan termasuk dapat menutupi pengeluaran biaya peremajaan.  Secara teori hitungan dimaksud merupakan potensi, yang peluangnya cukup prospektif.  Namun disadari masih sebatas wacana, masih perlu dicoba di lapangan realitas  capaian hasil produksinya.
Berkenaan potensi dan peluang yang ada tersebut, dari serangkaian pembahasan oleh berbagai kalangan dan masih terus berlangsung, secara umum sepakat tentang tersedianya potensi yang dimaksud dan terbuka peluang pengembangannya.  Sehubungan dengan perkembangan wacana dimaksud, maka agenda besarnya adalah mencari pilihan pendekatan yang paling sesuai.  Untuk maksud tersebut, jawabannya tidak lain kecuali melakukan uji coba dari berbagai pilihan yang dipandang memungkinkan.
Pemerintah menggenjot produktivitas kelapa sawit dengan melakukan program peremajaan (replanting) kelapa sawit. Sebab, selama ini tingkat Produktivitas tanaman kelapa sawit Indonesia masih rendah. Berdasarkan data statistik perkebunan Kementan, tahun 2010 lalu lahan kelapa sawit yang perlu diremajakan sekitar 91.281 ha. Rinciannya, sebanyak 13.651 ha perkebunan besar milik negara (PBN), 46.959 ha perkebunan milik swasta (PBS) dan 30.671 ha perkebunan milik rakyat (PR).
Dari jumlah itu, areal perkebunan milik swasta dan perkebunan negara telah diremajakan sekitar 2.424 ha atau sekitar 4% dari luas lahan yang harus diremajakan. Dengan adanya peremajaan kelapa sawit ini produktivitas tanaman kelapa sawit akan bisa ditingkatkan secara bertahap menjadi 35 ton TBS per ha per tahun dengan tingkat rendemen minyak kelapa sawit sebesar 26%.
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun mengungkapkan, produksi minyak kelapa sawit Indonesia tidak akan bisa mencapai 25,4 juta ton seperti yang diperkirakan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat. "Untuk tahun ini, produksi CPO itu paling besar sekitar 24 juta ton," jelasnya kepada KONTAN beberapa waktu lalu.
Ia beralasan, saat ini banyak kebun sawit di Indonesia, terutama kebun sawit milik rakyat yang sudah tua, sehingga produktivitasnya menurun. Sementara itu, program revitalisasi dan peremajaan kebun kelapa sawit juga belum berjalan dengan semestinya.

Berdasarkan perhitungan Gapki, tahun 2010 lalu produksi CPO Indonesia diperkirakan sekitar 21 juta ton. Tahun ini, Gapki memperkirakan produksi CPO nasional akan mencapai sekitar 22 juta ton - 22,5 juta ton. Sedangkan untuk ekspor, Gapki memperkirakan tahun ini ekspor CPO Indonesia bisa mencapai sekitar 16,5 juta ton atau naik ketimbang tahun lalu yang sekitar 15,6 juta ton.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia baik yang dimiliki oleh perusahaan maupun yang plasma milik masyarakat sudah harus dilakukan revitalisasi, apalagi umur tanaman sudah mencapai 30 tahun yang juga sudah pada batas normal untuk dilakukan peremajaan. Perkebunan sawit itu sudah sangat tua, produktivitasnya juga sudah menurun, maka jalan yang harus diambil adalah dengan melakukan revitalisasi ataupun peremajaan kebun, agar bisa berproduksi kembali. Jumlah kebun sawit yang akan dilakukan revitaslisasi sekitar 125 ribu hektar, baik itu kebun yang sifatnya Perkebunan dengan Pola PIR, maupun perkebunan yang dilaksanakan secara plasma oleh masyarakat.
Dengan adanya peremajaan ini, akan mengurangi produksi sawit ataupun CPO Indonesia. namun persoalan lain yang harus dipertimbangkan adalah keberadaan kebun masyarakat, karena dengan adanya peremajaan tersebut maka juga akan menghilangkan mata pencarian masyarakat kebun. Selain itu juga berupaya bagaimana programi bisa berjalan dengan baik, namun juga berupaya bagaimana  kehidupan para petani  tetap bisa berputar meskipun tidak melalui kebun tersebut.
Dalam program ini pemerintah juga menawarkan beberapa alternatif yang nantinya bisa dipedomani dalam melakukan peremajaan. Karena jika tidak dilakukan dengan pola yang benar dan cerman, maka bisa-bisa petani akan kehilangan sumber pencarian. Alternatif-alternatif tersebut bisa diambil guna mengakomodir kepentingan para petani. Selain itu juga perlu dipertimbangkan biaya peremajaan kebun khususnya bagi para petani plasma. Sehingga banyak pertimbangan yang harus dilakukan agar program  bisa efektif dan tidak merugikan, apalagi penanaman kembali akan butuh waktu lama agar bisa berproduksi, sementara petani juga butuh sumber penghasilan, syukur jika ada penghasilan lain.